Momentary Lapse the Reason, Komaneka Gallery
Momentary Lapse
Seorang laki-laki berkumis, berjenggot tipis tampil dengan pose setengah badan, tanpa baju memamerkan tatto jantung merah tertembus panah terajah di kulit dada kanan. Penampilan cukup meyakinkan, kedua tangan dilipat di depan dada, bibir tertutup dan tatapan ke depan seperti berusaha menampilkan wajah tenang dan wibawa. Mengenakan udeng putih dan keris terselip di pinggang, terbungkus saput poleng terikat kain merah mirip sosok pecalang, penjaga keamanan tradisional Bali. Figur ini berpose di depan latar tembok putih berbingkai ornamen Bali yang berisi sketsa candi bentar dan pelinggih simbol kesucian yang penuh dengan coretan dan celoteh berbahasa Bali.
Salah satu karya I Made Arya Palguna ini dengan lugas menyandingkan tanda-tanda religius, suci, sakral dengan tanda-tanda profan, populer dan kasar dalam satu bidang kanvas. Seperti ingin mengungkapkan nuansa paradok dalam wajah Bali masa kini. Karya yang diberi judul “selfie” ini, secara visual juga juga dapat menjadi petunjuk jika Palguna kini ada di Bali.
Setelah lebih dari 20 tahun berpetualang di Yogyakarta, kini saatnya Palguna berlabuh, berpijak kembali di tanah Dewata, merasakan panas dan dinginnya matahari Bali. Kembali memulai menata hidup di Bali, menjadi moment yang sangat istimewa. Suatu pase menyambung kembali jejak ingatan yang tertinggal dan menemui realitas yang telah berubah, sehingga meletupkan gejolak emosi dan loncatan energi yang kemudian ditransformasikan dengan elok ke dalam media kanvas atau kayu menjadi karya seni lukis dan patung. Melalui pameran tunggal yang diberi tajuk “Coming Home: Momentary Lapse”, palguna ingin berbagi pengalaman yang ia rasakan dalam mengayuh langkah baru di Bali.
Palguna lahir dan dibesarkan di desa Ubud, desa dengan sejarah seni yang gemilang, tempat terjadinya percumbuan dan pergulatan para revolusioner di bidang seni yang berhasil menumbuhkan gerakan seni rupa modern Pita Maha. Di desa ini Palguna menikmati masa kecil hingga remaja.
Pada tahun 1996 Palguna melanjutkan studi seni ke ISI Yogyakarta. Yogyakarta menjadi rumah ke dua bagi Palguna. Kota ini tidak hanya mengajarkan ilmu di bidang seni, tetapi juga merupakan tempat mematangkan diri, menumbuhkan tunas hati yang memekarkan keluarga kecil. Angan-angan dan harapan akan masa depan telah tergantung tinggi di kota ini, namun sebagai orang Bali “sejauh-jauhnya melangkah menyeberangi lautan, melintasi benua, pada saatnya pasti kembali ke Bali”.
Kembali ke Bali ibaratnya laku spiritual, kembali ke tanah dimana ari-ari tertanam, yang dipupuk setiap hari dengan sesaji tentu meniupkan aura tersendiri. Ingatan yang lama terputus seperti tersambung lagi. Bermain di pematang sawah sambil menikmati hembusan angin bukit Campuhan menjadi kesehariannya. “ten lion power tiger” adalah slogan yang diambil dari sebuah serial kartun favorit menjadi judul karya yang menampilkan seorang anak yang sedang mengeluarkan jurus sakti berupa pancaran sepuluh kepala macan. Sedangkan kesukaannya beradu imajinasi dengan komik Kho Ping Hoo melahirkan karya “tiga pendekar (spionase)” yang menampilkan suasana pedesaan di China. Kenangan masa remajanya di Ubud tergambar dalam karya “serial killer”, yang menampilkan tiga orang remaja bersanding dengan gelas-gelas besar minuman anggur, dengan latar pemandangan sungai yang dihias dengan gunung-gunung kembar yang siap dijelajahi.
Ke Bali sebagai orang Bali, tentu berbeda halnya ke Bali sebagai wisatawan atau pengunjung asing. Palguna pulang ke tanah kelahiran kini harus berhadapan dengan realitas yang sudah berubah. Teman-teman masa kecil kini sudah dewasa, pulang dengan tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga dan banyak lagi hal-hal yang sudah berbeda, menimbul kesan ganjil dan aneh yang memancing kegundahan dan pertanyaan dalam diri seorang Palguna. Hal ini yang menjadi dasar tema-tema karya Palguna.
Mengayuh langkah di jalanan di Bali identik dengan sambutan anjing peliharaan. Mereka akan menggonggong, menghendus dan kadang menggeram atau menjilati sang tamu. Dalam karya yang berjudul “ambush”, palguna membagi pengalamannya memulai langkah di Bali, menampilkan dua figur laki dan perempuan, tengah dikerubungi gerombolan anjing. Anjing-anjing ini seperti penasaran bergerak mendekat sambil menghendus seolah mengintimidasi kehadiran kedua orang ini di daerah teritorial mereka. Namun dua orang ini sudah bersiap dengan sebatang kayu tua yang berisi setangkai bunga putih dalam genggaman.
Karya Palguna sering menghadirkan figur-figur manusia yang bersanding dengan binatang dan pepohonan. Mirip kebiasaan dalam seni lukis tradisional Bali. Namun penampakan binatang, pepohonan dan latar hutan atau pemandangan, tidak sebatas menghadirkan binatang atau pohon dalam pengertian fisik, tetapi lebih sebagai reprentasi karakter manusia dan lingkungan yang lebih luas. Mirip seperti cerita tantri, cerita fabel yang sangat popular di Bali.
Palguna juga menyoroti pesatnya pembangunan fisik yang berdampak pada tersisihnya eksistensi penghuni asli yang akan berujung pada kepunahan atau kehilangan eksistensi, seperti yang diceritakan dalam karya berjudul “Post Mortem”. Semilir angin, kampung halaman yang dirasakan Palguna banyak berubah, telah membangunkan energi luar biasa dalam dirinya. Terungkap dengan jelas lewat karya-karya yang penuh dengan kritikan, keresahan maupun sindiran terhadap perubahan lingkungan, gaya hidup, fenomena sosial. Seperti tersaji dalam karya-karya yang berjudul “in the same cup”, “apartmen”, “new guru”, “Confession”, “Song for Some One”, “Balance” dan “More Easer Teaching a Dog”.
Kepulangannya ke Bali tidak begitu saja memutuskan tali ikatan dengan Jogja, sejatinya hatinya masih tertambat di kota itu. Kardus-kardus bekas pembungkus barang yang masih menyisakan stiker khas pengiriman barang, menjadi saksi pertalian Bali dan Jogja, diolah menjadi karya tiga dimensi yang berjudul “Pandora Box”. Karya ini merujuk pada dirinya sebagai seorang bapak dengan tiga anak-anaknya. Pulang ke Bali, penuh dengan misteri. Ibaratnya kotak Pandora ada misteri dan ketidak pastian. Namun hal ini harus dihadapi, karena kepulangannya ke Bali didorong oleh tanggung jawab sebagai seorang bapak dalam memastikan jalan selanjutnya bagi keluarga dan anak-anaknya.
Harapan dan masa depan juga tercermin dalam sejumlah karya, seperti “future plant” yang menampilkan sorang ibu tengah merawat tanaman dalam pot yang baru menampakkan pucuk-pucuk daun, suatu gambaran usaha memulai kembali dari awal, menanam harapan untuk masa depan. Kemudian karya “Hand in Hand”, menceritakan satu keluarga kecil, dengan seorang bayi kecil yang terlelap dalam pelukan Ibu yang melindunginya dari gangguan nyamuk, sedangkan ayahnya sebagai sandaran mereka berdua, tengah menerawang jauh menatap masa depan bagi mereka.
Karya palguna secara visual tampil dengan citraan yang ringan dan sederhana, namun sejatinya menyimpan kompleksitas yang tinggi. Menyajikan kecerdasan sang seniman dalam mengungkapkan rasa yang pelik atas kehadirannya kembali di tanah kelahirannya dengan bahasa rupa yang terkesan harmonis. Kritikan, protes dan kemarahan dikemas dengan tampilan puitis.
I Wayan Agus Eka Cahyadi, S.Sn., M.A
(Dosen FSRD ISI Denpasar)