” Anjing !!!” at Bentara Budaya Yogyakarta
Oleh Aminudin TH. Siregar
Setiap peradaban adalah khas. Yang bergulir disitu tidak saja episode-waktu-ruang, tetapi juga peran besar manusia, penggagasnya. Waktu-ruang bagi sebagian orang diyakini tidak berubah. Begitupun ide. Sedangkan kepercayaan tentang ide diakibatkan eksistensi manusia di alam semesta ini. Tanpa eksistensinya, alam-peradaban-kebudayaan dsb tidak memiliki makna-nilai. Hidup tidak berkhasiat apa-apa, tanpa ide ditangan manusia. Lantas apakah ide? Dimana letaknya? Filsafat menciptakan klaim-klaim atas pertanyaan tersebut dan Marx nyaris dua abad lalu menagih praksisnya.Tapi benarkah sebuah kebudayaan dijalankan berdasarkan ‘ide-ide’ manusia? Seekor anjing yang dirantai, dirumahkan disudut halaman adalah ‘ide’ untuk menangkal upaya jahat terhadap pemilik rumah. Soal terbukti atau tidak, ide sekurangnya telah dijalankan. Upaya pencegahan memang sebuah keyakinan. Dan sebuah ‘ide’ tidak pantas (selalu) disalahkan.
Setelah ‘kebudayaan’ diproduksi, manusia mengenalinya kembali lewat definisi. Jelas, kita mafhum bahwa definisi tidak lepas dari bahasa. Lalu kita sepakat pula kalau bahasa (telah) memiliki sejarahnya sendiri. “Sejarah’ itulah yang coba dikenali sebagai ruang-waktu. Lantas bahasa memberi kita pemahaman, makna bahkan nilai terhadap gejala alam melalui sistem bahasa. Katakanlah anjing. Sistem bahasa melaksanakan operasinya, memberitahu kita tentang sesosok berkaki empat, ada yang besar, juga ada yang kecil. Sesosok dimana rasio kita mengatakan bahwa anjing itu hewan. Suara yang dikeluarkannya disebut gonggongan dsb-dsb. Lalu anjing kita rekam, kita mapankan dikepala, kita warisi keanak-cucu dst. Anjing sebagai teks mengalami ‘sejarah’ dengan segala perubahan taksonominya. Bahwa kemudian anjing menjadi ‘tanda’, saya kira tidak lepas dari imanensi dan transendensi yang bergulir dipikiran dan jiwa kita. Anjing punya setumpuk arti. Sebagai penjaga, file kepala kita menyebut helder, bulldog sampai anjing kampung.Kualifikasi yang dibentuk oleh wacana sosial, sains bahkan ekonomi menambahi file-file baru dirak kepala kita.Bulldog tidak saja bertampang rusak, tapi membawa muatan sejumlah harga tertentu. Kalau anjing kampung kita temui banyak berkeliaran, itu tidak saja perkara fisik, tetapi tersirat nilai ekonomi terhadapnya. Anjing kampung jelas seekor hewan (tipe anjing) yang harganya murah. Siapa yang mau menangkap ‘barang murah’? Polisi saja (yang manusia) tidak akan sebodoh itu.
Ada yang menarik ihwal etimologi ‘anjing’ disini. Beberapa tahun lalu saat pertama kali saya datang di Bandung, imbuhan yang sering saya dengar adalah imbuhan kata ‘anjing’ nyaris disetiap akhir kalimat pada sebuah ucapan. Kalangan muda, entah itu preman pasar-terminal, mahasiswa, sopir angkot dsb menggemari imbuhan tersebut. Imbuhan tersebut disebutkan disaat marah, gurau, menghardik atau lembut sekalipun. Awalnya saya kira sekedar gaya bicara ‘sesaat’ yang diucapkan sesuai konteks psikologi yang sedang terjadi. Tapi lama kelamaan saya duga telah menjadi ‘kebiasaan-budaya lokal khas Bandung dan sekitarnya’. Jarang saya temui ‘kebiasaan’ semacam ini didaerah lain. Paling tidak imbuhan anjing akan disebut saat emosi belaka. Saat ‘konteks’ ditagih.
Anjing memang ironis. Di Barat, anjing berfungsi banyak. Sebagai teman sekaligus pengganti anak, penjaga rumah, peliharaan kesayaan (untuk kesenangan) sampai prestise. Orang Barat tidak memaki dengan kata anjing. ‘Damn’, ‘Fuck’, ‘Bastard’, ‘Shit’ dsb lebih digemari ketimbang ‘dog!’. Nah, di Indonesia, fakta tersebut menjadi ironis adanya. Anjing disini mengalami perubahan semantik sekaligus struktur pada bahasa, turut mempengaruhi ‘nilai dan maknanya’.
Faktor krisis dan tenggelamnya kebudayaan tidak saja menyangkut sosial, politik serta ekonomi pada sebuah negara. Tidak juga sebatas perkara penyakit, iklim, determinisme materialistis, aspek mental dsb, melainkan turut terjadi akibat bahasa. Bahasa adalah representasi paling otentik sebuah kebudayaan. Tanpanya, kebudayaan sulit dilacak keberadaannnya. Mengingat hal ini, saya semakin yakin pada krisis kebudayaan di Indonesia. Sistem bahasa yang beroperasi, kemudian jadi wacana, di Indonesia jarang menjadi inspirasi atau bahkan mengambil posisi sebagai penentu sebuah kebijakan. Memang, bahasa tidak akan lepas dari kekuasaan. Sebuah ‘rejim kebenaran’ selalu berlindung dibalik bahasa. Wacana ini pada orde baru bukan lagi sebuah keanehan, tetapi telah diresapi oleh nyaris sebagian besar manusia Indonesia. Kalau anda tidak percaya , hanya dengan ‘teks’ anjing sebuah kebudayaan mengalami krisis, lihatlah realitanya disini, di Indonesia tercinta.
Bandung, September 2000