” Ritus Air ” at Sri Sasanti Gallery, Yogyakarta
RITUS AIR
Oleh Rain Rosidi
Pameran tunggal “Ritus Air” ini merupakan salah satu langkah penting dalam perjalanan kekaryaan Made Arya Palguna. Palguna yang lahir di Ubud, 32 tahun yang lalu telah merintis kekaryaan dengan sangat konsisiten. Karya-karyanya selalu menampilkan cara pengucapan unik, dengan karakter figur-figur yang khas, kombinasi antara kesan plastis dan datar. Begitu juga dalam menggarap latar belakang, antara patuh terhadap ilusi perspektif dan sekaligus mengingkarinya. Ciri lain yang menonjol adalah pada tampilan wajah tokoh-tokohnya serta gerak gestur masing figur, mereka terkesan jenaka tapi sekaligus misterius. Palguna banyak menggunakan warna-warna alamiah, seperti kesan kayu, tanah, dan batu (dengan warna coklat, abu-abu, oker, dan sejenisnya).
Palguna belajar seni rupa secara akademis di ISI Yogyakarta di tahun-tahun awal setelah reformasi tejadi. Pada masa itu, kegairahan para mahasiswa seni lukis untuk kembali ke studio demikian gencar. Untuk diingat, pada angkatan para pelukis ini, banyak dilangsungkan kompetisi seni yang kemudian memenangkan para mahasiswa ini dalam hal teknis. Permainan teknis, komposisi, tekstur pada bidang kanvas, dan penciptaan karakter menjadi bagian yang diekplorasi oleh para seniman muda waktu itu. Palguna adalah salah satu seniman yang kuat dalam mempertahankan konsistensinya. Bentuk karakter tokoh-tokoh dalam lukisannya dan bagaimana komposisinya dibuat menjadi keunikan dia yang kuat dibandingkan pelukis sebayanya.
Dalam pameran, Palguna mengambil berbagai macam elemen yang mendukung gagasannya mengenai air. Palguna tidak mengerucutkannya dalam satu posisi keberadaan air, tetapi melebarkannya dalam berbagai dimensi. Akan sangat berbeda kita memahami air dalam lukisannya mengenai lumpur lapindo (Swim little bear, swim….,200×250 cm, 2008, acrylic on canvas), dengan air yang tercitrakan dalam karya Santih,santih,santih (multi dimension,fibre dan besi). Dalam “Swim Little Bear, Swim…” air adalah sumber bencana yang lahir karena ketidak arifan manusia terhadap lingkungan. Sedangkan “Santih Santih” menghadirkan air dalam posisi sakralnya sebagai air suci perangkat upacara.
Tema “Ritus Air” merangkai berbagai respon Palguna terhadap situasi kontemporer maupun permenungannya, dalam satu titik tolak, yaitu air. Elemen air dipahami oleh Palguna dalam berbagai dimensinya, seperti dimensi ekologisnya, dimensi sosialnya, bahkan dimensi spiritual. Dalam pernyataannya mengenai gagasan pameran ini, Palguna mengungkapkan sikap dia terhadap air yang tak berbeda jauh dengan pandangan umum. Tetapi pada titik tertentu, Palguna secara pribadi mempunyai sikap obsesif tertentu yang mempengaruhinya secara psikologis.
Dari pandangan itu, sang air yang dikehendaki Palguna lantas muncul dalam berbagai macam pengejawantahannya, mulai dari tetesan air hujan, air lautan, air mani, dan air suci dalam upacara keagamaan. Palguna lebih mengendepankan sikap etisnya dalam memaknai kehadiran air, yaitu sikapnya terhadap daya hidup dan bagaimana harapannya akan peri kehidupan yang lebih baik.
Dalam pameran ini, selain karya lukisan, Palguna juga menampilkan tiga buah karya tiga dimensional. Ketiga karya ini, nampak cukup dominan dalam pameran ini karena sifatnya yang memecah ruang, serta metode interaktifnya dalam menyertakan keterlibatan penonton. Palguna menyatakan bahwa proses pembuatan karya-karya tiga dimensionalnya mempunyai kepuasan yang berbeda dibanding melukis. Dalam menciptakan karya tiga dimensional, seperti patung dan instalasi, Palguna lebih merasakan adanya interaksi dengan pihak lain, seperti dalam proses mencetak karya misalnya. Begitu juga dengan keunggulan karya patung yang bisa memberikan sensasi ‘blow up’ yang nyata dan repetisi penggandaan objek. Dengan pertimbangan itu, pameran ini menghadirkan sekaligus karya dua dimensi dan karya tiga dimensi.
Karya tiga dimensi Palguna tidak menggunakan sosok figur manusia sebagai tokoh utama, sebagaimana dalam lukisannya. Kalau lukisannya didominasi oleh aktivitas manusia dengan pemiuhan figur yang berkesan jenaka. Dalam karya tiga dimensinya, Palguna memilih objek-objek yang berkaitan dengan masalah-masalah besar dan nampak serius. Dalam pameran ini misalnya objek globe dan genta. Hanya bath tub yang diambil dari objek ringan sehari-hari, yang juga dimaksudnnya sebagai asosiasi dari bumi.
Beberapa tahun yang lalu, Gunawan Mohamad merespon kritikus Hideki Nakamura yang memberi pengantar Pameran Seni Rupa Baru Asia Tenggara di Museum Fukuoka Jepang. Dalam pandangan Nakamura, seni rupa Asia berbeda dengan seni modern Eropa, yaitu pada umumnya seni Asia seperti dalam ruang yang tak berbentuk dan tak berbatas, tanpa sebuah sentrum yang menetap. Seni rupa Eropa modern, sebaliknya berdasarkan premis bahwa sebuah karya membentuk suatu sistem yang jelas, tak terdorong kesana kemari, yang tersusun di sebuah unsur sentral, dari mana ia mencoba membebaskan dirinya. Dalam pandangan Gunawan, tesis Nakamura itu terdukung dengan karya-karya seniman yang dipamerkan pada waktu itu, antara lain Dadang Christanto dan Heri Dono, yang menurutnya sebagai berciri “kemelimpahan ruahan”. Gunawan mempertanyakan anjuran dari Nakamura agar seniman Asia menengok gerakan minimalis. Metodologi minimalis mempercayai adanya suatu sifat dasar kesatuan yang tersembunyi di balik fenomena yang beraneka ragam. Nakamura menyebut perlunya “konsolidasi” dan “kondensasi”. Ajakan untuk konsolidasi dan kondensasi inilah yang dipertanyakan oleh Gunawan, perlukah seniman Asia melakukannya? Dan perlukah corak Asia dalam karya seni?
Pada saat ini, di tengah gencarnya corak minimalis pada karya-karya perupa China, kita masih menemukan ciri ‘kemelimpah ruahan’ tersebut pada beberapa karya kontemporer. Yang sangat ekstrim, adalah pada karya-karya seniman seperti Nyoman Erawan. Seniman ini menghadirkan jalinan tanda yang riuh, baik dalam karya lukisan, performance art, maupun instalasi dan patung-patungnya. Proses berkarya seperti ini, sebagaimana pola dalam upacara religi di Bali, yang dimulai dari prosesi A – sampai ke Z. Berbagai syarat dan keharusan dalam prosesi tersebut, seolah ikut muncul dalam bagimana Erawan menghadirkan karyanya.
Palguna berada dalam sikap yang mendua. Di satu sisi, dirinya adalah bagian dari kosmologi Bali yang menjadi bagian takterpisahkan dari lingkungan alam, budaya, dan religi. Di sisi lain, pendidikan seni yang diterimanya memberikan rambu-rambu dan pengetahuan mengenai komposisi dan cara bertutur secara visual. Pada karya Palguna, kita akan mendapatkan hadirnya secara serentak sekumpulan tanda yang dirangkai oleh sang perupa dalam memaparkan gagasan tertentu. Sangat terasakan pada karya-karya lukisannya pun pada beberapa karya tiga dimensinya. Dalam karya tiga dimensinya, Palguna menggunakan tata cara yang sedikit berbeda dengan lukisannya. Tengoklah karyanya yang berjudul “Curse” (50x80x180 cm), merupakan sebentuk tiruan bath tub dengan bahan teracota. Permukaan bagian dalamnya tergurat teks dengan huruf bali, bertuliskan “Serat Darmo Gandul”. Dalam karya ini, terdapat tendensi untuk mengkerucutkan persoalan dalam satu tanda tertentu. Berbeda dengan karya lukisannya yang cenderung ilustratif, karya tiga dimensinya ini hanya menampilkan salah satu bagian dari elemen untuk bertutur.
Sedangkan karyanya yang berjudul “You are what you eat”, (multi dimension, fibre, stainless dan besi) terasakan sebagai pemindahan keinginan bertutur (sebagaimana dalam lukisan) pada objek tiga dimensional. Karya ini terdiri dari bermacam elemen, mulai dari objek replika globe bumi yang terbuka bagian dalamnya, sekumpulan figur kecil, dan beberapa batang sendok dan garpu. Elemen-elemen yang dimunculkan dalam bentuk tiga dimensi tersebut berperan dalam membangun cara bertutur Palguna.
Karyanya yang terakhir, yaitu “Santih, Santih” mereplika genta dalam upacara suci dalam ukuran yang dibesarkan. Genta tersebut dipergunakan dalam upacara ketika air suci dikeluarkan kepada umat. Dalam karya ini, berbagai masalah mengenai lingkungan,keresahan sosial dan sebagainya, bisa disejukkan dengan ritual keagamaan. Pandangan etis Palguna dalam menyikapi berbagai persoalan yang kompleks dikerucutkan dalam satu simbol utama, yaitu replika genta yang diperbesar.
Penggalan karya ilustratif dan sekumpulan objek yang menceritakan sesuatu, seolah-olah karya yang tak pernah selesai. Pada cara ungkap Palguna, dua hal tersebut justru menjadi titik tolak utamanya untuk menemukan posisi dirinya di tengah perkembangan seni rupa kontemporer saat ini. Terlepas menyadarinya atau tidak, Palguna telah berhasil mengadopsi cara bertutur lama (dalam ilustrasi klasik, wayang beber, dan naskah-naskah klasik) dengan cara bertutur seni rupa modern. Langgam seperti ini, saya kira sangat layak untuk diajukan dalam ranah seni internasional, yang merindukan keragaman sebagai sesuatu yang menjembatani dialog budaya.
Genta dalam Ritus Air
Oleh Sujud Dartanto
Dengan cukup gamblang Palguna memberi jalan pada kita untuk melihat air di sejumlah karya-karyanya ini. Kegamblangan ini kian dimudahkan ketika Palguna menghadirkan berbagai ilustrasi peristiwa-perisitiwa yang berkait dengan air dan akrab bagi kita, diantaranya: tentang pemanasan global, bencana banjir dan lumpur. Peristiwa-peristiwa itu tidak lain adalah kejadian aktual yang kerap kita lihat dan dengar di berbagai media massa. Peristiwa-peristiwa itu mengandung zat mineral yaitu air. Pokok ini yang hendak Palguna sampaikan kepada kita dalam pameran tunggalnya yang bertemakan “Ritus Air”. Titik bidik air ini sengaja Ia ambil sebagai mula Ia menggambar ekspresi-ekspresinya atas berbagai hal yang menyentuhnya.
Kesetiaan pada Bentuk
Sepanjang pengamatan saya, Palguna tetap konsisten dalam caranya menghadirkan figur, binatang, dan lanskap. Demikian pula dengan caranya ia mengerjakan komposisi-komposisi bentuk. Saya kira, cita-cita hampir setiap pelukis adalah menemukan karakter tutur pada media kanvas. Palguna menyadari ini, “hampir sepuluh tahun aku menemukan teknik dan karakter seperti ini”, ujarnya disuatu kunjungan saya ke studio kerjanya. Kita bisa melihat sosok-sosok yang hadir pada bidang kanvas ini digambar tanpa perlu hadir secara realis. Luwes dan bervolume. Mata sosok itu diberi aksen putih. Gambaran anotomi demikianpun mengundang kesan jenaka, tampil dengan postur kikuk dan kenes. Begitu pula dengan caranya ia membangun lanskap sebagai latar belakang karyanya yang kebanyakan adalah alam. Hal yang juga ajeg terlihat adalah pada tekstur yang menghiasi komposisi bidang-bidang kanvasnya. Ini sebuah teknik tersendiri yang Palguna temukan untuk mendapatkan nuansa aristik pada karya-karyanya.
Gaya Estetis Palguna
Ada kekuatan ilustratif pada karya-karya Palguna ini. Disini kita bertanya, apakah kita bisa menyamakan kecenderungan ilustrasi Palguna dengan seni poster misalnya? Atau adakah Palguna sekadar asik bermain-main dengan aspek ilustratif saja? Sulit kiranya untuk menyejajarkan karya-karya Palguna dengan seni poster atau sekedar menilai kecenderungan ilustrasi pada karya Palguna sebagai bentuk yang mengejar aspek formalis semata. Lalu bagaimana kita memahami kecenderungan ilustrasi pada karya-karya Palguna?
Kita perlu melihat sejarah individu Palguna yang besar dari lingkungan masyarakat tradisi di Bali. Ia besar di Ubud, Bali, daerah yang terkenal memiliki sejarah tradisi dan religiusitas. Di daerah Ubud juga tumbuh dan berkembang seni tradisi hingga kontemporer. Palguna juga berkesempatan menekuni bidang seni sejak kecil hingga SMSR di Bali, lalu ia lanjutkan ke studio seni lukis FSR ISI Yogyakarta. Walau berbekal pendidikan modern ini, saya melihat kecenderungan ilustrasi pada karya-karya Palguna seperti menghidupkan dan meneruskan tradisi perupaan prasi bahkan mungkin tanpa sadar Palguna jalani.
Rupa ilustrasi paling awal di Bali adalah seni prasi yang merupakan ilustrasi visual pada lembaran daun lontar. Teknik pengerjaannya memerlukan ketrampilan khusus dengan cara dipahat. Tradisi seni prasi ini kemudian memengaruhi pola dasar kreasi lukisan wayang gaya Kamasan Klungkung. Ikonografi yang tampak pada seni prasti adalah wayang yang digunakan untuk melukiskan ajaran kebajikan agama Hindu. Pada kreasi pertama, seni prasi menarasikan dan memvisualisasikan perisitwa-perisitwa simbolik melalui epos Ramayana, Sutasoma, Tantri, Mahabarata dan beragam cerita rakyat. Kreasi kedua bisa kita lihat pada bagaimana perupa Klungkung memindah narasi-narasi itu pada lukisan yang kemudian kelak menjadi tradisi lukis gaya Kamasan Klungkung. Perluasan media ungkap dan teknik ini menjadi sebuah kreativitas tersendiri dalam mentransformasi narasi ajaran agama Hindu di Bali. Itu sebabnya, tradisi cerita bergambar atau gambar yang bercerita, dan ilustrasi mendapat tempat dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang luas di Bali hingga sekarang ini melalui media-media dan teknik ungkap yang beragam.
Citra Lain dari Spirit Prasi
Cara Palguna dalam mengekspresikan dan menyampaikan pesan-pesan ini serupa tapi tak sama dengan tradisi seni prasi. “Keserupaan yang tak sama” ini rupanya disengaja oleh Palguna. Ia memang menaruh minat dan ingin meneruskan tradisi seni Prasi ini. Bila pada seni Prasi dan gaya seni lukis Klungkung memiliki aspek dekorasi pekat dan ketajaman detail, maka pada goresan Palguna, pertama, kita bisa melihat adanya jarak antar objek, sapuan warna dan pengelolaan bidang komposisi yang seperlunya dan jauh untuk mendekorasinya secara penuh. Kedua, bila pada tradisi Prasi kita bisa menikmati bagaimana tetuah religi dan cerita rakyat , maka tema-tema karya Palguna pun cenderung menyampaikan sejumlah tetuah (personal statements) nya dalam merespon situasi aktual yang bersinggungan dengan alam, manusia, kemudian perihal kejeniusan dan religiusitas. Ketiga, keserupaan juga tampak pada komposisi pengaturan latar belakang dan depan yang serentak hadir sejajar (flat), nuansa ini mengaburkan perspektif jauh-dekat, tetapi justru ini yang dieksplorasi oleh Palguna, sebagaimana dalam gaya Kamasan Klungkung. Kempat, Salah satu penanda kuat dorongan empati Palguna pada warisan tradisi ini adalah pada abstraksi figur-figur dalam karya lukis Palguna seperti menyerupai wayang.
Inilah jalan estetik yang ditempuh oleh Palguna. Bila seni modern memisahkan diri dari lembaga religi dan kemudian mendirikan “fakultas” pengetahuannya (art world) sendiri, maka corak karya-karya Palguna ini membuktikan semacam bentuk percabangan (baca: pengalaman) yang lain, sebuah sikap estetik Palgunayang masih ingin merajut dialog” dengan leluhur, dengan warisan tradisi Prasi, dengan cara membahasakannya secara Palguna. Sebuah citra lain dari Prasi.
Genta Spiritual Palguna
Dengan cara menggunakan air sebagai metafora Palguna sedang merisalahkan keprihatinanya pada ambisi manusia yang ingin menaklukan alam, ambisi manusia yang ingin menguasai sesama dengan cara kekerasan. Ambisi-ambisi manusia ini didorong oleh tiadanya keseimbangan, absennya kontrol manusia pada azas keselarasan, dan hubungannya dengan sang Pencipta. Dari segi tematik, asas trasendental dan hubungan horisontal dengan sesama dan alam ini yang coba diingatkan oleh Palguna pada pentingnya melakoni aksis hidup yang berimbang.
Pandangan Etis Palguna bisa kita amati misalnya pada “Glass of Chamber” (2008) misalnya menampilkan sosok-sosok yang terkurung dalam rumah kaca. Tampak Figur laki-laki dan perempuan, ada yang tertunduk, dan seperti ada yang meronta dalam rumah transparan, “Karya ini terinspirasi dari keadaan yang tak menentu, kadang panas, kadang dingin dengan siklus tak menentui”, ujar Palguna. Dalam “In God Hand” (2008), nampak tiga buah helai daun yang berisi air dalam volume yang tak sama, pada lukisan ini Palguna ingin mengingatkan Tuhan yang mengatur pembagian air yang berbeda-beda ini. Palguna juga menaruh perhatian pada fenomena lumpur Sidoarjo, dalam “Swin Little Bear, Swim” (2008), karya ini sengaja ia buat sebagai simpati pada anak-anak didaerah bencana. Salah satu karya Palguna yang menantang penafsiran kita lebih jauh pada “Menjilat Hujan” (2008), Nampak sosok laki-laki itu menengadah ke langit, lidahnya menjulur dan mencokok air hujan. Tentang ini, Palguna bertanya: “bagaimana seandainya kita menjilat hujan? Asin tentunya, mungkin daripada menjilat ludah?”,
Selain seri lukisan, Palguna juga menghadirkan seri objek pada “Your Life Not in Heaven but in the Earth” (Mixed Media, 2008), nampak sebuah miniatur besar bola bumi yang terbelah dua, dan hanya tertopang puluhan garpu.Lewat karya ini Palgunas memandang bahwa dunia adalah tempat kita hidup, berjuang dan mencari makan. Sebab itu mestinya kita bisa menjaga dan melestarikan dunia ini. “ Hidup bukan hanya memikirkan dan berbuat untuk bekal di akhirat, tapi berjuang dan bertahan demi kelangsungan generasi penerus dimuka bumi ini”, katanya.
Objek yang lain adalah seri Objek terakota pada “Curse”, (2008).Palguna juga merespon kekokohan material terakota dan menggubahnya menjadi replika bak mandi modern. Didalam bak itu nampak deretan aksara ramalan yang berisikan proyeksi bila bumi tidak dijaga, maka akan ada banyak bencana datang. “Bak mandi ini saya lambangkan sebagai dunia. Dunia sebagai tempat kita membenamkan diri, menenangkan dan sejuk. Tapi, dunia makin lama makin tua. Dunia tentu mempunyai pesan-pesan yang harus dijaga dan dilestariakan. Jika dilanggar maka akan menjadi sebuah kutukan bagi keutuhan dunia”, demikian Palguna menjelaskan tentang karyanya yang ini.
Objek terakhir adalah “Santih (Damai)”, sebuah genta raksasa. Dalam genta ini Palguna akan mengisinya dengan aksara-aksara dan menyilahkan kita untuk mendengarkan bunyi doa didalam genta. Genta ini biasanya digunakan dalam upacara-upacara religi. Sebagai penanda dan dalam tujuan tertentu suara genta adalah sebuah peringatan, pengingat bagi siapapun yang menghuni alam semesta. Barangkali objek ini merupakan genta spiritual Palguna, genta yang juga diperlukan bagi siapapun yang alpa.