” Menggali Tulang ” at Tembi Contemporary, Yogyakarta
Menggali Tulang
I Made Arya Palguna
Memperhatikan karya-karya I Made Arya Palguna, ingatan kita langsung dibawa hubungan manusia yang paling intim; Ibu dan anak, ayah dan istri, lelaki dan perempuan, keluarga, maupun dengan elemen-elemen sekitarnya. Semuanya terkesan riang, hangat dan damai, tak ada ketegangan dari tiap lukisannya, tapi garapannya menyuguhkan beragam elemen rupa yang dipikirkan dengan baik-baik. Kematangan ini menunjukan pengalaman estetik dari seorang perupa yang telah menjalani karir kesenimanan yang cukup panjang. Kali ini Palguna masih konsisten dengan perwajahan karya yang bercorak modern bercampur dengan citra-citra mitologis yang berwarna harmonis.
Citra-citra itu ditampilkan melalui karya patung dan lukisan yang digubah dengan memiuhkan bentuk – bentuk figuratifnya menjadi berpola serupa kubistis, mengingatkan kita pada figur – figur karya maestro Marc Chagal. Seperti juga pernah diungkapkan oleh Sujud Dartanto dalam essai dikatalog pameran tunggal Palguna, dua tahun lalu. Bahwa Palguna menghadirkan figur, binatang dan lanskap dengan watak luwes dan bervolume, ada kesan jenaka yang tampil dengan postur kikuk dan kenes. Alih-alih menghadirkan kekuatan ilustratif yang terkait dengan tradisi perupaan atau ikonografi budaya Bali seperti Prasi, yang biasanya menggunakan daun lontar. [i]
Prasi, masih menurut Sujud memerlukan keterampilan pahat yang menarasikan dan memvisualisasi peristiwa – peristiwa simbolik melalui epos Ramayana, Sutasoma, Tantri, Mahabarata dan cerita rakyat lainnya. Makan cerita bergambar menjadi tumbuh dan digunakan untuk mentransformasi agama Hindu Bali. Oleh karena itu karya – karya Palguna juga bisa dikatakan berangkat dari “spirit Prasi” tersebut. [ii] Bahkan sesungguhnya karya- karya seni rupa Indonesia wataknya ada pada kekuatan narasi ini dibanding dengan, misalnya eksplorasi artistik dan pengembangan estetikanya.
Aspek narasi ini sangat kental mulai dari seni – seni tradisi hingga munculnya praktek seni modern di awal abad 20. Ketika seni (rupa) menjadi dasar untuk mengungkapkan situasi sosial masyarakatnya disana fungsi komunikasi menjadi penting. Kecuali ketika munculnya praktik seni rupa abstrak – formal di lingkungan institusi pendidikan seni rupa di Jogjakarta (ASRI) dan Bandung ( FSRD- ITB), yang mempraktekan gubahan-gubahan formal (warna, bidang, bentuk-bentuk geometris dan terukur) didekade 1970-an. Walaupun dalam beberapa hal, narasi juga muncul, seperti lukisan-lukisan abstrak Sadali. Tapi perkembangan selanjutnya aspek cerita atau narasi – hingga kini- bisa dikatakan menjadi latar utama keberangkatan para perupa menciptakan karya, baik sesuatu yang lebih terkait dengan kehidupan personal maupun dengan konteks sosial-politik serta spiritual.
Palguna lewat karya-karyanya hampir seluruhnya mengetengahkan pengalaman-pengalaman dari sisi kehidupan pribadi, dengan nilai dari hubungan-hubungan antara orang-orang terdekat maupun aspek-aspek dilingkungan sekitarnya. Suatu konsep yang sangat sederhana. Seolah ia “membendung diri” dari berbagai pengaruh gelombang budaya global yang selalu menggoda dan cenderung menjadi identitas seni rupa kontemporer Indonesoa. Karya-karya Palguna yang dipamerkan saat ini, terbagi dalam dua bagian. Pertama adalah karya tiga dimensi berupa patung-patung dari tembaga, dan kemudian rangkaian lukisan. Pada karya – karya patungnya, yang menarik adalah bagaimana proses penciptaan terjadi. Hampir seluruh karya patung Palguna muncul dari lukisan-lukisannya terdahulu atau mengambil salah satu elemennya. Alih – alih menjadikan karya-karya lama sebagai acuan untuk kemudian dijadikan karya – karya barunya, mendaur-ulang gagasan lama kedalam bentuk-bentuk yang baru.
Seperti diungkapkan Palguna, ia mencoba “menggali” dan mulai berfikir ulang di dalam suatu rentang proses kekaryaan. “ Dalam penggalian sebuah semangat tentulah ada berbagai macam cara yang ditempuh. Menggali sebuah spirit dengan mencoba me-re-creat karya lama ke dalam sebuah media ungkap yang baru yakni patung ”[iii]. Kecenderungan seperti ini lazim dilakukan oleh para perupa, sejak jaman seni modern dahulu seperti yang dilakukan oleh Pablo Picasso atau Affandi ketika membuat patung-patungnya, Sunaryo ketika melukis, hingga Agus Suwage dengan objek-objeknya. Bagi mereka melakukan hal ini bukan sekedar menyegarkan kembali sebuah gagasan lama tetapi juga memberikan pengalaman berbeda ketika berhadapan dengan idiom-idiom baru.
Seolah karya-karya mereka menjadi sumber utama untuk kemudian membangun karya-karya baru, menjadi mata air yang tak pernah surut, memberikan sumber keberlanjutan bagi karya-karyanya sendiri, bahkan kemudian bisa membentuk identitas seorang seniman. Palguna mengungkapkan: “ Yang agak baru mungkin ide untuk mematung karya lama (lukis) ke dalam media tiga dimensi. Figur-figur dalam karya lukis tersebut saya tranformasi ke patung dengan beberapa pemilihan objek sesuai dengan tema menggali tulang (spirit). Jadi dalam pameran ini tema menggali tulang bukan cuma hanya proses karya lukis yang di pindah ke karya patung tapi juga pemilihan karya yang sedikit tidaknya menimbulkan “spirit” baru dalam berkarya.” [iv]
Perhatikan karya – karya patung tembaganya, seperti “Asleep On His Shoulder” (2009) yang mengacu pada karya lukisannnya tahun 2008, berjudul “CURHAT”. Patung “ Getting High”, berupa figur lelaki yang menggendong anaknya yang tertidur lelap di punggungnya. Lalu karya “ Di Jinjing-Jinjing “ (2010), seorang lelaki yang menggendong sang anak , yang tampak riang di pundaknya, yang mengacu pada karya tahun 2007, Trainning Day. Patung kepala lelaki dengan anjing-anjing di lehernya pada karya “ Balinese Sound” , yang diambil dari lukisannya “ I Feel Bad with my Face” (2003). Patung “ Gigolo” dengan lukisannya berupa sepasang insan sedang menjalin cinta di pantai, dan lainnya. Palguna menggunakan salah satu elemen dan memberi karya-karya tersebut dengan nilai dari konteks ruang dan waktu berbeda.
Judul pameran “ Menggali Tulang “ diambilnya dari “ Mengakoholi Tulang”, yang merupakan upacara adat batak , dilaksanakan secara besar-besaran, dimana dalam upacara ini ada proses penggalian tulang leluhur untuk kemudian dibuat SIMEN (kuburan permanen dari beton yang dihias berbagai macam ukiran). Upacara ini sendiri sering dilaksanakan oleh keluarga yang sudah lama merantau keluar pulau dan berhasil . Sehingga ketika kembali ke kampung halaman mereka membuat syukuran dan melaksanakan upacara ini sebagai ucapan terimakasih kepada leluhur.[v] Mengapa Batak? Alasan sederhana namun bagi saya agak mengejutkan, karena sang istri berasal dari Sumatera Utara. Ternyata Palguna juga tertarik menggali nilai-nilai budaya – budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia, terutama dari orang-orang terdekat.
Palguna seolah membangunkan kembali nilai-nilai yang terpendam dimasa lalu, memberikan daging dan darah segar pada sosok tubuh pada karyanya terdahulu, meniupkan ruh-ruh baru pada tubuh mereka. Melalui patung – patung figuratif itu, Palguna menggambarkan gestur manusia yang polos, penuh kesederhanaan dalam suasana pertalian cinta kasih yang tulus, riang, penuh hasrat hidup, hakiki dalam hubungan – hubungan manusia dengan lingkungan serta alam. Aktifitas menimang-nimang , menggendong sang anak,seorang yang bersimpuh, pasangan yang sedang bermesraan hingga ekspresi ketakutan akan ketinggian, merepresentasikan keseharian hidup sang seniman, subyek paling dikenal dan diakrabinya. Karena menurut Sanento Yuliman, “ karya seni “ bisa bukan hasil alih ragam (transformasi) dan abstraksi untuk menyaring “yang universal” dari “yang khusus” (partikular) dan mengambil jarak dari kenyataan aktual. Melainkan, ia dapat mempertahankan aktualitas dan kekhasan kejadian atau keadaan. “ Karya “ dapat berwujud gapilan ke dalam sepotong kehidupan sosial dengan tujuan menggerakan perubahan. [vi]
Lukisan-lukisannya kali ini pun agak berbeda, ia mulai dengan memasukan unsur-unsur teks berupa tipografi dan grafiti. Tulisan kata itu sendiri berkaitan dengan visualisasi yang di tampilkan disetiap bidang kanvas sebagai sebuah ungkapan ataupun umpatan. [vii]Alih-alih dalam karya kali ini, ia menjadikan aspek – aspek visual lain untuk membangun dan mempertegas pemaknaan. Seperti karyanya “ Unite” , “ Love Kiss “, “ Rival” dan “ Noise Become Spirit “ , yang masing-masing tulisan lebih dari sekedar menekankan hadirnya subyek -subyek tersebut tapi juga menyatu dalam komposisi keseluruhan. Dengan bentuk dan warna huruf yang dikombinasi secara khas dan lentur dengan elemen visual lainnya, menjadikan karya-karya lukisannya cenderung komikal dan naratif. Sehingga tanda-tanda tiap karya semakin terbaca dan mempengaruhi mood dari lukisannya.
Ketika menemui Palguna di studionya di daerah Sewon, Jogjakarta, ia sedang mengerjakan beberapa model tanah liat karya patungnya. Saya sedikit agak terkejut menemukan masih ada seorang pelukis yang masih mampu mengerjakan karya-karya patungnya sendiri, tanpa bantuan seorang asisten yang lazimnya sekarang banyak membantu para pelukis untuk membuat karya-karya tiga dimensi. Kepandaiannya menggubah bentuk tiga dimensional menjadi keunggulan tersendiri. Walaupun tentunya ia masih harus memproses tanah liat itu ke bahan logam, dan saat itu ia butuh bantuan ahli lain.
Di studionya, jejak-jejak bahwa Palguna adalah seorang seniman yang gemar menjelajah, tampak sekali disekitarnya. Dihalaman terserak benda-benda tiga dimensional beragam bahan: terakota, serat resin, batu. Selain masih tampak patung figur yang belum selesai, tumpukan lukisan-lukisannya dipojok ruang, sketsa-sketsa. Terasa atmosfir kegairahan artistik yang tak terganggu dengan berbagai keriuhan di dalam medan sosial (dan kapital) seni rupa Jogja saat ini.
[i] Sujud Dartanto dalam Genta dalam Ritus Air. Katalog Pameran Srisasanti, 2008.
[ii] Ibid.
[iii] Pernyataan perupa, 2010
[iv] Pernyataan perupa, 2010
[v] Pernyataan perupa, 2010
[vi] Sanento Yuliman, dalam Ke Mana Semangat Muda ? Dua Seni Rupa Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Editor Asikin Hassan. Kalam. Jakarta 2001. Hal. 151.
[vii] Pernyataan perupa. 2010